Minggu, 27 Januari 2008

Privatisasi BUMN dalam Perspektif Kepemilikan Ekonomi Islam

Kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalis hanya terbagi menjadi dua :

  1. Kepemilikan Individu
  2. Kepemilikan Negara (sektor public)

Konsep ini berbeda dengan system ekonomi Islam yang mengenal tiga jenis kepemilikan

  1. Kepemilikan Individu
  2. Kepemilikan Umum
  3. Kepemilikan Negara

Dalam konsep ekonomi Islam, antara kepemilikan umum dan negara dibedakan secara tegas, termasuk jika diprivatisasi.

  1. Privatisasi BUMN Kepemilikan Umum

Kepemilikan dalam perspektif ekonomi Islam adalah izin yang diberikan al-Shari’ untuk memanfatkan atas suatu ‘ayn (benda). Sedangkan kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah) adalah izin yang diberikan oleh al-Shari’ kepada komunitas untuk bersama-sama memanfatkan suatu benda. Dengan demikian kepemilikan umum merupakan harta benda yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh al-Shari’ kepada kaum muslimin secara keseluruhan dan menjadikan harta benda tersebut sebagai milik bersama kaum muslimin.Setiap individu diperbolehkan mengambil manfaat dari harta benda tersebut, akan tetapi mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi. Sebab dengan memiliki secara pribadi, berarti akan menghalangi orang lain untuk memperole manfaatnya.

Dalam pemanfaatan harta-harta milik umum terdapat perbedaan. Ada yang dapat dimanfaatkan manusia secara langsung,seperti air yang ada di laut,sungai,danau,padang rumput, api, dan jalan umum. Terhadap benda-benda tersebut rakyat dapat memanfaatkannya secara langsung.

Dalam pemilikan umum jenis ini, peran negara adalah mengatur agar pemanfaatan oleh individu tidak merugikan atau membahayakan individu lainnya. Negara juga berperan dalam mengalokasikan pemanfaatan kepemilikan umum agar tercapai kepuasan bersama yang optimal dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang.

Disamping itu, harta milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung atau diperlukan usaha keras,keahlian,teknologi tinggi,biaya besar,dan pengelolaan professional seperti minyak bumi,gas, dan barang-barang tambang lainnya.Terhadap barang jenis ini penguasaan dan pengelolannya harus diserahkan kepada negara, yang hasilnya harus dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya.

Shara’ telah menetapkan benda-benda tertentu yang dimasukkan sebagai kepemilikan umum. Maka tidak diperbolehkan bagi seseorang atau sebuah perusahaan swasta untuk memiliki dan menguasainya.

Dalam hadis riwayat Abu Dawud diberitakan bahwa Rasulullah SAW menarik kembali tambang yang telah diberikan kepada Abyad bin Hamal.Sesudah beliau mengetahui bahwa tambang garam yang diberikan tersebut depositnya berlimpah bagaikan air mengalir.

Hadis lain yang menjelaskan kepemilikan umum atas aset-aset yang menjadi sarana umum, juga menunjukkan tidak bolehnya aset-aset tersebut dikuasai dan dimiliki individu. Rasulullah SAW bersabda :

Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) tiga hal : air, padang rumput, dan api (HR Ahmad dan Abu Dawud). Dalam hadis yang diriwayatkan Ibn Majah dari Ibn Abbas ada tmbahan, “Dan harganya haram.”

  1. Privatisasi Kepemilikan Negara

Selain ketiga jenis harta benda yang dikategorikan shara’ sebagai kepemilikan umum itu bisa dimiliki individu.Hanya saja, diantara herta benda itu ada yang terkait dengan hak kaum muslimin secara umum, sehingga pengelolaan atas harta benda tersebut berada ditangan khalifah. Hak pengelolaan oleh khalifah inilah yang disebut sebagai kepemilikan negara (milkiyat al-dawlah) karena makna kepemilikan adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.

Berbeda dengan kepemilikan umum yang tidak boleh dirubah statusnya menjadi milik individu, harta yang terkategori sebagai milik negara dapat berubah menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada individu tertentu dari rakyatnya.Kesimpulan ini didasarkan beberapa bukti berikut.

Pertama, perubahan kepemilikan atas tanah mati (al-ard al-mawat). Sebagaimana telah disebutkan dimuka, tanah mati termasuk kepemilikan negara. Tanah tersebut dapat berubah menjadi kepemilikan individu ketika ada yang menghidupkan atau memagarinya. Menghidupkan berarti memakmurkannya, yakni menanaminya dengan pepohonan, mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat suatu apa pun yang menunjukkan atas pemakmuran tanah. Orang yang menghidupkan tanah mati berhak atas kepemilikan tanah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :

“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak hak bagi keringat orang zalim” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al Tirmidh dari Sa’id bin Zayd).

Kepada yang memakmurkan tanah, Rasulullah SAW juga bersabda:

“ Siapa saja yang memakmurkan tanah yang tidak dimiliki siapa pun, maka dia berhak atas tanah tersebut” ( HR Ahmad).

Berdasarkan hadis-hadis tersebut fuqaha madhhab al-Shafi’iyyah, al-Malikiyyah, al-Hanabilah ,dan sebagian kalangan Abu Hanifah berpendapat bahwa tanah mati dapat dimiliki dengan cara menghidupkannya tanpa menunggu izin dari penguasa.

Sedangkan memagari tanah (al-tahjir) adalah membuat batas-batas tanah yang menunjukkan atas pembagian tanah dan membatasinya dengan batas-batas tertentu, seperti menaruh bebatuan, pagar dinding, atau tiang-tiang dari besi, kayu balok, atau sejenisnya di seputar tanah. Orang yang memagari tanah tersebut (al-muhtajir) dapat memiliki tanah yang telah dipagarinya itu.Rasulullah berabda:

“Siapa yang membatasi tanah dengan pagar, maka ia berhak atas tanah tersebut” (HR Ahmad dan Abu Dawud dari Samrah)

Kedua, dishariatkannya kebijakan iqta’ oleh negara. Al-Iqta adalah pemberian negara kepada individu berupa tanah yang menjadi milik negara. Tanah yang diberikan sebelumnya sudah dihidupkan, namun tidak ada pemilikinya. Tanah semacam ini termasuk milik negara. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW telah mempraktikan kebijakan iqta’ ini. Kebijakan serupa juga dilakukan oleh para khalifah berikutnya. Dari Wail bin Hajar:

“Sesungguhnya Nabi saw memberikan kepadanya sebidang tanah di Hadramaut dan mengutus Mu’awiyah agar menyerahkan tanah itu kepadanya” (HR al Tirmidhi, dan ia mensahihkannya)

Rasulullah saw juga memberikan tanah kepada ‘Amru bin Harith, ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf dan Umar bin al-Khattab.

Ketiga, kebolehan harta ghanimah dan fay’ yang keduanya termasuk harta negara dibagikan kepada individu tertentu dari rakyat. Dalam membagikan harta ghanimah an fay’, Rasulullah saw tidak melakukan dengan satu cara. Pada suatu kesempatan Rasulullah saw memberikan ghanimah sebelum diambil seperlimanya, tetapi di saat lain kadang-kadang diberikan setelah diambil seperlimanya.

Sebagai pemelihara dan pengatur, negara dalam semua rencana, kebijakan, dan tindakannya harus memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya dan berupaya sungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Menurut Zallum ada beberapa sarana yang harus disediakan oleh negara untuk dimanfaatkan seluruh warga masyarakat.Sarana umum yang dikenal dengan marafiq itu seperti:

  1. Sarana peleyanan pos, surat - menyurat, telepon, sarana televise, perantara satelit dan lain-lain .
  2. Alat pembayaran berupa alat tukar, jasa titipan, pertukaran mata uang, uang emasdan perak cetakan, atau penukaran uang cetakan. Negara melayani berbagai pelayanan tersebut selama pelayanannya tidak mengandung riba.
  3. Sarana transportasi umum, seperti kereta api yang berjalan bukan pada jalan umum, pesawat terbang, atau kapal laut, jika terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin, dan sangat mendesak untuk membantudan memudahkan mereka bepergian.
  4. Pabrik atau industri tertentu. Negara wajib mendirikan dua jenis industri sebagai kewajiban negara dalam mengatur kemaslahatan manusia. Pertama, pabrik-pabrik yang berhubungan dengan harta benda milik umum, seperti pabrik atau industri eksplorasi pertambangan, pemurnian, dan peleburannya. Pabrik-pabrik ini milik umum, dan negara yang mendirikannya sebagai wakil dari kaum muslimin. Kedua, industri berat dan industri militer. Jenis pabrik ini boleh dimiliki individu, karena bagian dari kepemilikan individu. Akan tetapi pabrik semacam ini memerlukan modal sangat besar. Sangat sulit dilakukan oleh seorang individu.

Ini adalah sarana-sarana yang harus disediakan negara untuk masyarakat. Karena ini menjadi tugas negara, perusahaan-perusahaan yang menangani asset itu tetap harus dikelola negara.Perusahaan yang didirikan dalam rangka memberikan pelayanan kepada rakyat, tidak boleh diprivatisasi. Meskipun demikian, negara tidak menutup peluang bagi swasta untuk turut menggarap beberapa bidang diatas, seperti perusahaan transportasi darat, sungai, laut.

Negara juga harus menyediakan sarana-sarana yang menjadi kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Dalam bidang layanan kesehatan dan pendidikan, negara wajib mewujudkan pemenuhannya terhadap seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim, kaya maupun miskin.

Demikian halnya dengan masalah pendidikan. Masalah ini juga menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar bisa dinikmati seluruh rakyatnya. Gaji guru misalnya harus ditanggung negara yang diambilkan dari kas bayt al-mal. Rasulullah saw telah menetapkan kebijaksanaan terhadap tawanan perang Badar, bahwa mereka bisa bebas setelah mengajar 10 orang penduduk Madinah baca tulis.

Beberapa bukti diatas dapat disimpulkan bahwa semua sarana yang manjadi tanggung jawab negara tidak boleh diprivatisasi. Bertolak dari kesimpulan tersebut, privatisasi dilatari motif untuk membebaskan peran negara dalam layanan public dan digantikan sepenuhnya dengan mekanisme pasar, sebagaimana yang di idealkan system ekonomi kapitalisme-neoliberalisme dan didesakkan lembaga-lembaga multirateral, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO, dalam perspektif system ekonomi Islam tidak dapat dibenarkan.

Tidak ada komentar: