Minggu, 03 Februari 2008

Sebelum Domba-Kambing di Kartel oleh “Asing”

Oleh : Hendrayana, SPt

Dalam system ekonomi pertanian, perjalanan dari pra produksi sampai pasca produksi semua tidak lepas dari permainan pemodal besar (pengusaha) serta mafia perdagangan. Petani kecil hanya menjadi objek untuk menjalankan roda perekonomian mereka. Fakta pertanian sekarang, semua produksi pertanian tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga dalam negeri. Sehingga, semuanya kalo bisa dibeli kenapa harus diproduksi.

Peternakan sendiri sebagai bagian integral pertanian tidak lepas juga terkena dampak negatif dari diberlakukannya system ekonomi pertanian kapitalisme. Apalagi sekarang disokong dengan para penguasa yang notabene pengusaha, maka apapun jika masih bisa di beli lebih baik beli daripada diproduksi. Tidak perlu berpikir tentang bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas yang memang butuh dana yang besar, lebih baik dana itu dipakai modal. Oleh karena pandangan seperti itulah maka sampai kapanpun jika masih berhitung untung rugi jangka pendek, bukan berpikir sejahtera atau tidak rakyat maka pertanian/peternakan di negeri ini akan hancur. Kita hanya menjadi negeri pembeli dengan pemerintah selaku distributor serta agen-agen perdagangan

Dalam dunia usaha peternakan di sebagian jenis usahanya seperti usaha peternakan ayam dan usaha peternakan sapi baik perah dan potong sudah terkena dampak penerapan system ekonomi yang mengesahkan penguasaan asset kepemilikan umum oleh individu. Oligopoli salah satu turunan aturan persaingan usaha yang jelas-jelas menguntungkan pihak pemodal yang berserikat terhadap usaha yang sama (homogen).

Jika Monopoli yang berarti penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha sudah dilarang oleh pemerintah melalui UU Antimonopoli, maka Oligopoli sebagai pilihan untuk penguasaan produksi dan pemasaran atas barang dan jasa oleh satu kelompok pelaku usaha.

Secara umum pengertian oligopoli adalah di mana terdapat beberapa pelaku usaha yang mempunyai kekuatan pasar kurang lebih sebanding. Dan salah satu karakteristik pasar yang oligopolistik yang diperdagangkan adalah barang-barang yang homogen, seperti bensin, minyak mentah, bahan bangunan, pipa baja dan lain-lain, termasuk bermacam macam hasil ternak (susu, daging, DOC, kulit).
Di dalam pasar oligopoli khususnya pada barang-barang yang homogen, terjadi keterkaitan reaksi. Artinya, jika satu pelaku usaha menaikkan harganya yang lain juga otomatis ikut menaikkan harganya dan sebaliknya jika suatu pelaku usaha menurunkan harganya, dan yang lain ikut menurunkan harganya.
Di sinilah terjadi apa yang disebut dengan perilaku yang saling menyesuaikan di antara pelaku usaha. Hal ini terjadi, karena sifat barang-barang yang homogen mengakibatkan tidak terdapat persaingan kualitas. Barang yang homogen pada umumnya mempunyai kualitas yang hampir sama. Oleh karena itu pada pasar oligopoli sebenarnya tidak dilakukan melalui suatu perjanjian.
Jadi, bertitik tolak dari penjelasan singkat ini, maka oligopoli menurut UU Antimonopoli agak berbeda dengan apa yang dikenal di dalam hukum persaingan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa. Tetapi di pasar heterogen pun –paling tidak dari segi struktur murni– dapat timbul oligopoli, namun pada pasar seperti ini pada umumnya tidak terjalin kesepakatan antara pelaku usaha untuk saling menyesuaikan, di sini justru berpeluang terjadi persaingan harga dan kualitas.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin pada pasar oligopoli khususnya pada barang yang homogen terjadi suatu kartel? Karena pada barang yang homogen pada prinsipnya tidak terjadi melalui suatu perjanjian, melainkan melalui penyesuaian perilaku masing-masing pelaku usaha, seperti disebut sebelumnya.

Oligopoli Melalui Perjanjian.
UU Antimonopoli Indonesia mengatur oligopoli agak berbeda dengan di negara-negara lain. Dengan jelas ditetapkan di dalam pasal 4 ayat 1 UU Antimonopoli, bahwa oligopoli ditetapkan melalui suatu perjanjian, yaitu pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik moopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Dari ketentuan pasal 4 ayat 1 dapat disimpulkan, bahwa oligopoli terjadi melalui suatu perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran barang atau jasa tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain. Jadi, ketentuan ayat 1 pasal 4 tersebut boleh dikatakan adalah kartel, yaitu kartel produksi dan kartel pembagian wilayah pemasaran.
Dan di dalam ayat 2 pasal 4 ditetapkan, bahwa pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakuan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa tertentu, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Jadi, menurut UU Antimonopoli struktur pasar yang oligopolistik, jika dua atau lebih pelaku usaha melakukan perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu, dan jika menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar suatu barang atau jasa tertentu.
Ketentuan ayat 1 dan ayat 2 pasal 4 tersebut, jika diteliti secara seksama ada suatu kontradiksi, di mana di satu pihak ditetapkan, bahwa oligopoli dilakukan melalui suatu perjanjian (ayat 1), dan di lain pihak ditetapkan bahwa dua atau tiga pelaku usaha atau sekelompok patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu, jika pelaku usaha tersebut menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar (ayat 2).
Dilihat dari aspek sejarah pembuatannya, memang tidak jelas alasan pembuat undang-undang mengapa kedua kata diduga dan dianggap tersebut digunakan, seolah-olah masing-masing kata tersebut dapat digunakan secara tersendiri dalam kasus tersendiri dan mempunyai arti yang berbeda. Kalau pemikirannya demikian, maka akan mengakibatkan interpretasi yang berbeda-beda.
Jika, dilihat dari aspek arti kata ”diduga” dan ”dianggap”, diduga adalah sesuatu yang masih dapat dibantah, sedangkan dianggap adalah sesuatu yang hampir tidak dapat dibantah lagi. Namun demikian untuk menghindari interpretasi yang berbeda-beda, di dalam penerapannya kedua kata tersebut dapat digunakan arti yang sama, yaitu dapat dibantah, karena didahului dengan kata ”patut”, yaitu menjadi mempunyai sifat rule of reason.
Artinya, dugaan atau anggapan terhadap dua atau tiga pelaku usaha yang melakukan penguasaan pangsa pasar sebesar lebih dari 75 persen masih perlu pembuktian oleh KPPU, bahwa pelaku usaha tersebut menguasai pangsa pasar lebih dari 75 persen dan mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dan sebaliknya pelaku usaha juga dapat membuktikan (membantah) tuduhan KPPU, bahwa pelaku usaha tersebut tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 75 persen dan tidak melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Atau, kalau toh dua atau tiga pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 75 persen, pelaku usaha (oligopolis) tersebut tidak melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Jadi, ketentuan pasal 4 UU Antimonopoli memaksa KPPU membuktikan suatu perilaku yang saling menyesuaikan menjadi suatu tindakan kartel, yaitu harus menunjukkan bukti melalui perjanjian baik tertulis maupun lisan.

Kartel adalah gabungan (organisasi resmi) dari para produsen yang menjual output di pasar oligopoli. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan-perusahaan anggotanya, yaitu dengan jalan menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku untuk seluruh perusahaan dalam kartel. Kartel dibentuk pada umumnya untuk mengatasi ketidakpastian perilaku perusahaan-perusahaan pesaing dengan mengadakan Collusive agreement (persetujuan secara diam-diam).

Dengan penggabungan seperti ini produsen-produsen secara bersama-sama akan berperilaku seperti halnya monopolis. Secara garis besar ada dua jenis kartel, yaitu kartel dengan tujuan membagi pasar. Suasana ini adalah mirip dengan monopolis yang mempunyai beberapa pabrik (multiplant-monopoly). Dalam model ini masalah yang dihadapi kartel tidaklah hanya menentukan tingkat harga dan jumlah output optimum yang harus diproduksi oleh kartel agar keuntungannya maksimum namun juga penentu jatah output yang harus diproduksi oleh masing-masing produsen anggota dan juga pembagian keuntungan antar mereka. Pada prinsipnya output optimal juga pembagian keuntungan antar mereka.

Berbagai fakta praktek kartel telah masuk dalam peternakan, yaitu usaha peternakan ayam dan usaha peternakan sapi. Gabungan, Asosiasi atau Kelompok apalah namanya yang ada di negeri ini kebanyakan hanya kumpulan dari penguasa modal yang dengan mudah dapat menentukan kesediaan barang dan menentukan harga kapanpun dan dimanapun mereka suka. Maka tidak menjadi hal aneh lagi jikalau penimbunan bahkan pembunuhan saat produksi menjadi hal yang halal bagi mereka demi menaikkan harga produk. Dengan cara seperti itu penguasaan terhadap barang dan penguasaan pemasaran dapat diatur sedemikian rupa sehingga keuntungan berada ditangan mereka, bukan kepada usaha peternakan skala kecil yang bergantung kepada mereka. Sebelum menjalankan praktek kartel dengan sesama peruasahaan sejenis tentu saja masing-masing perusahaan sudah menguasai sektor hulu sampai hilir usaha mereka. Pabrik pakan mereka punya, produk setengah jadi apalagi, sedangkan untuk pemasaran mereka sudah tentu mempunyai pasar tetap, dengan adanya system kemitraan dan plasma yang mereka bangun dengan dalih untuk membantu peternak kecil mereka akan dengan mudah untuk mempermainkan harga.

Jauhkan kartel dari Peternakan Domba-Kambing Sekarang!

Indonesia memiliki populasi kambing sekitar 12,6 juta dan domba sekitar 7,5 juta ekor. Dunia internasional mengakui bahwa Indonesia memiliki jenis domba dan kambing Tropis unggul, yaitu domba Garut yang bobot badannya dapat mencapai 100 kg dan kambing Kacang yang memiliki reproduktifitas tinggi (dapat beranak tiga kali dalam dua tahun dengan peluang kembar dua atau tiga yang tinggi). Kedua jenis ternak sangat adaptif terhadap lingkungan Tropis yang panas dan lembab ini. Kenyataan lain menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tanah Tropis yang luas dan subur, memiliki tingkat biaya operasional peternakan domba yang sangat kompetitif, dan tingkat pasar domba nasional yang tinggi. Namun demikian, hingga hari ini, dinamika industri peternakan domba dan kambing di Indonesia masih dibebankan kepada para peternak skala rumah tangga dengan rataan skala usaha sekitar dua sampai dengan 31 ekor per peternak.

Tujuan mereka beternak pada umumnya adalah untuk mendapat penghasilan tambahan atau sebagai tabungan yang menjadi sumber “Emergency Cash” pada saat diperlukan. Juga dinamika pemasarannya, hingga hari ini masih didominasi oleh para belantik dengan tingkat skala dan area pemasaran yang terbatas. Karena tekanan kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan skala usaha yang sangat kecil, maka dalam pelaksanaan usahanya banyak unsur dan standar produksi yang diabaikan nilai dan kepentingannya. Di lapangan terlihat kecenderungan mendahulukan ternak unggul untuk dijual dan mempertahankan ternak kurang unggul sebagai bibit generasi ternak masa datang. Akibat dari kondisi ini, adalah makin terkurasnya populasi kambing dan domba unggul Indonesia. Khususnya domba Garut, populasinya saat ini diperkirakan hanya tinggal 60.000 ekor (sekitar 0,08% dari total populasi domba nasional).

Apabila sub sektor peternakan Domba-Kambing masih dijalankan dengan skala rumah tangga, padahal kebutuhan akan daging Domba-Kambing tiap tahun pasti akan meningkat dengan signifikan, maka yang terjadi tentu saja skala impor Domba-kambing akan terus meningkat. Tentu saja lama kelamaan hal ini tidak akan dibiarkan begitu saja, karena peluang untuk meraup keuntungan sangat besar. Lihat saja kebutuhan Domba-Kambing di Indonesia menjelang Idul Kurban, di Jawa Barat saja kebutuhan ruminansia kecil itu sekitar 219.000 an pada tahun 2006. Kebutuhan tersebut belum kita hitung secara nasional, pasti jumlahnya akan besar sekali. Akan tetapi kebutuhan Nasional tiap tahun tersebut tidak dapat dipenuhi oleh hasil keringat peternak dalam negeri.

Ironis sekali memang, kalau kita dapat berpikir dengan jernih tentang peluang pasar maka peluang tersebut tidak akan pernah ada habisnya. Selama masih ada hari Idul Kurban pastilah kebutuhan daging Domba-Kambing akan mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pertambahan umat Islam khususnya pastilah membutuhkan penambahan kuota kurban. Walaupun pasar itu terjadi hanya setiap setahun sekali, tapi pasar tersebut sudah pasti ada.

Di Indonesia peternakan ruminansia kecil (Domba-Kambing) masih “dikuasai” oleh peternak rakyat yang hanya mampu memproduksi dalam skala rumah tangga. Tentu saja hal ini masih menguntungkan bagi mereka, karena pakan Domba-Kambing tidak perlu beli sehingga keterikatan kepada pengusaha pakan dan kebutuhan lain untuk produksi nyaris tidak ada. Sehingga hal ini perlu dipertahankan, hanya saja perlu meningkatkan kualitas produksi dan kuantitas produksi dengan adanya menaikkan skala usaha dari rumah tangga menjadi skala menengah yang lebih rasional, sebelum penguasaaan Domba-Kambing jatuh pada orang “Asing”.

Oleh karena itu, kiranya sudah waktunya bagi kita untuk mempertimbangkan pembangunan suatu peternakan kambing-domba pada skala usaha yang lebih rasional yang akan mampu mengadopsi teknologi peternakan mutakhir agar plasma nutfah Indonesia tersebut teramankan dan termanfaatkan bagi nusa dan bangsa kita dengan optimal. Kita akan mampu memiliki peternakan domba skala besar karena kita memiliki potensi biologis, teknis dan ekonomis yang memadai. Tidak hanya pemerintah yang selalu berusaha melindungi dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk peternakan, tetapi lembaga –lembaga non profitpun sekarang mulai memperhatikan dan berusaha melindungi plasma nutfah Indonesia itu dari peran para kapital yang akan mengkartelnya.

Lembaga non profit seperti Dompet Dhuafa Bandung juga berperran ingin sekali berperan untuk melindungi Domba-Kambing Indonesia dari kartelisasi dengan membangun kekuatan lokal peternakan. Kelompok-kelompok peternakan berbasis sumberdaya lokal telah dibentuk di hampir setiap kabupaten di Jawa Barat guna membangun suatu jaringan peternakan Domba-Kambing. Jejaring tersebut nantinya diharapkan akan dapat memenuhi permintaan Domba-Kambing untuk kebutuhan kurban khususnya dan untuk kebutuhan daging harian masyarakat.

Peningkatan kualitas pun dilakukan melalui pembinaan dan pelatihan kepada peternak skala rumah tangga, sehingga diharapkan peternak skala rumah tangga tersebut kedepannya akan menjadi peternak skala menengah. Pakan dan obat-obatan tidak menggunakan buatan pabrik tetapi diusahakan dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada atau secara tradisional untuk menghilangkan ketergantungan terhadap produk-produk yang menjebak. Pembibitan yang mulai dilakukan adalah untuk mempersiapkan stok produksi. Kelangkaan akan Domba-Kambing setelah penyembelihan besar-besaran saat Idul Kurban Insa Allah bisa dihindari. Jika skala produksi individu-individu dalam kelompok sudah besar dan pemasaran telah dikuasai, maka mereka diharapkan dapat menurunkan harga Domba-kambing dipasaran bukan malah mengkartel dengan manaikkan harga. Karena mekanisme harga dapat dengan mudah dibentuk dalam pasar yang masih menggunakan sistem ekonomi seperti saat ini.

Penulis adalah : Staf ahli Pemberdayaan Dompet Dhuafa Bandung

Minggu, 27 Januari 2008

Privatisasi BUMN dalam Perspektif Kepemilikan Ekonomi Islam

Kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalis hanya terbagi menjadi dua :

  1. Kepemilikan Individu
  2. Kepemilikan Negara (sektor public)

Konsep ini berbeda dengan system ekonomi Islam yang mengenal tiga jenis kepemilikan

  1. Kepemilikan Individu
  2. Kepemilikan Umum
  3. Kepemilikan Negara

Dalam konsep ekonomi Islam, antara kepemilikan umum dan negara dibedakan secara tegas, termasuk jika diprivatisasi.

  1. Privatisasi BUMN Kepemilikan Umum

Kepemilikan dalam perspektif ekonomi Islam adalah izin yang diberikan al-Shari’ untuk memanfatkan atas suatu ‘ayn (benda). Sedangkan kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah) adalah izin yang diberikan oleh al-Shari’ kepada komunitas untuk bersama-sama memanfatkan suatu benda. Dengan demikian kepemilikan umum merupakan harta benda yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh al-Shari’ kepada kaum muslimin secara keseluruhan dan menjadikan harta benda tersebut sebagai milik bersama kaum muslimin.Setiap individu diperbolehkan mengambil manfaat dari harta benda tersebut, akan tetapi mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi. Sebab dengan memiliki secara pribadi, berarti akan menghalangi orang lain untuk memperole manfaatnya.

Dalam pemanfaatan harta-harta milik umum terdapat perbedaan. Ada yang dapat dimanfaatkan manusia secara langsung,seperti air yang ada di laut,sungai,danau,padang rumput, api, dan jalan umum. Terhadap benda-benda tersebut rakyat dapat memanfaatkannya secara langsung.

Dalam pemilikan umum jenis ini, peran negara adalah mengatur agar pemanfaatan oleh individu tidak merugikan atau membahayakan individu lainnya. Negara juga berperan dalam mengalokasikan pemanfaatan kepemilikan umum agar tercapai kepuasan bersama yang optimal dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang.

Disamping itu, harta milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung atau diperlukan usaha keras,keahlian,teknologi tinggi,biaya besar,dan pengelolaan professional seperti minyak bumi,gas, dan barang-barang tambang lainnya.Terhadap barang jenis ini penguasaan dan pengelolannya harus diserahkan kepada negara, yang hasilnya harus dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya.

Shara’ telah menetapkan benda-benda tertentu yang dimasukkan sebagai kepemilikan umum. Maka tidak diperbolehkan bagi seseorang atau sebuah perusahaan swasta untuk memiliki dan menguasainya.

Dalam hadis riwayat Abu Dawud diberitakan bahwa Rasulullah SAW menarik kembali tambang yang telah diberikan kepada Abyad bin Hamal.Sesudah beliau mengetahui bahwa tambang garam yang diberikan tersebut depositnya berlimpah bagaikan air mengalir.

Hadis lain yang menjelaskan kepemilikan umum atas aset-aset yang menjadi sarana umum, juga menunjukkan tidak bolehnya aset-aset tersebut dikuasai dan dimiliki individu. Rasulullah SAW bersabda :

Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) tiga hal : air, padang rumput, dan api (HR Ahmad dan Abu Dawud). Dalam hadis yang diriwayatkan Ibn Majah dari Ibn Abbas ada tmbahan, “Dan harganya haram.”

  1. Privatisasi Kepemilikan Negara

Selain ketiga jenis harta benda yang dikategorikan shara’ sebagai kepemilikan umum itu bisa dimiliki individu.Hanya saja, diantara herta benda itu ada yang terkait dengan hak kaum muslimin secara umum, sehingga pengelolaan atas harta benda tersebut berada ditangan khalifah. Hak pengelolaan oleh khalifah inilah yang disebut sebagai kepemilikan negara (milkiyat al-dawlah) karena makna kepemilikan adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.

Berbeda dengan kepemilikan umum yang tidak boleh dirubah statusnya menjadi milik individu, harta yang terkategori sebagai milik negara dapat berubah menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada individu tertentu dari rakyatnya.Kesimpulan ini didasarkan beberapa bukti berikut.

Pertama, perubahan kepemilikan atas tanah mati (al-ard al-mawat). Sebagaimana telah disebutkan dimuka, tanah mati termasuk kepemilikan negara. Tanah tersebut dapat berubah menjadi kepemilikan individu ketika ada yang menghidupkan atau memagarinya. Menghidupkan berarti memakmurkannya, yakni menanaminya dengan pepohonan, mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat suatu apa pun yang menunjukkan atas pemakmuran tanah. Orang yang menghidupkan tanah mati berhak atas kepemilikan tanah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :

“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak hak bagi keringat orang zalim” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al Tirmidh dari Sa’id bin Zayd).

Kepada yang memakmurkan tanah, Rasulullah SAW juga bersabda:

“ Siapa saja yang memakmurkan tanah yang tidak dimiliki siapa pun, maka dia berhak atas tanah tersebut” ( HR Ahmad).

Berdasarkan hadis-hadis tersebut fuqaha madhhab al-Shafi’iyyah, al-Malikiyyah, al-Hanabilah ,dan sebagian kalangan Abu Hanifah berpendapat bahwa tanah mati dapat dimiliki dengan cara menghidupkannya tanpa menunggu izin dari penguasa.

Sedangkan memagari tanah (al-tahjir) adalah membuat batas-batas tanah yang menunjukkan atas pembagian tanah dan membatasinya dengan batas-batas tertentu, seperti menaruh bebatuan, pagar dinding, atau tiang-tiang dari besi, kayu balok, atau sejenisnya di seputar tanah. Orang yang memagari tanah tersebut (al-muhtajir) dapat memiliki tanah yang telah dipagarinya itu.Rasulullah berabda:

“Siapa yang membatasi tanah dengan pagar, maka ia berhak atas tanah tersebut” (HR Ahmad dan Abu Dawud dari Samrah)

Kedua, dishariatkannya kebijakan iqta’ oleh negara. Al-Iqta adalah pemberian negara kepada individu berupa tanah yang menjadi milik negara. Tanah yang diberikan sebelumnya sudah dihidupkan, namun tidak ada pemilikinya. Tanah semacam ini termasuk milik negara. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW telah mempraktikan kebijakan iqta’ ini. Kebijakan serupa juga dilakukan oleh para khalifah berikutnya. Dari Wail bin Hajar:

“Sesungguhnya Nabi saw memberikan kepadanya sebidang tanah di Hadramaut dan mengutus Mu’awiyah agar menyerahkan tanah itu kepadanya” (HR al Tirmidhi, dan ia mensahihkannya)

Rasulullah saw juga memberikan tanah kepada ‘Amru bin Harith, ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf dan Umar bin al-Khattab.

Ketiga, kebolehan harta ghanimah dan fay’ yang keduanya termasuk harta negara dibagikan kepada individu tertentu dari rakyat. Dalam membagikan harta ghanimah an fay’, Rasulullah saw tidak melakukan dengan satu cara. Pada suatu kesempatan Rasulullah saw memberikan ghanimah sebelum diambil seperlimanya, tetapi di saat lain kadang-kadang diberikan setelah diambil seperlimanya.

Sebagai pemelihara dan pengatur, negara dalam semua rencana, kebijakan, dan tindakannya harus memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya dan berupaya sungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Menurut Zallum ada beberapa sarana yang harus disediakan oleh negara untuk dimanfaatkan seluruh warga masyarakat.Sarana umum yang dikenal dengan marafiq itu seperti:

  1. Sarana peleyanan pos, surat - menyurat, telepon, sarana televise, perantara satelit dan lain-lain .
  2. Alat pembayaran berupa alat tukar, jasa titipan, pertukaran mata uang, uang emasdan perak cetakan, atau penukaran uang cetakan. Negara melayani berbagai pelayanan tersebut selama pelayanannya tidak mengandung riba.
  3. Sarana transportasi umum, seperti kereta api yang berjalan bukan pada jalan umum, pesawat terbang, atau kapal laut, jika terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin, dan sangat mendesak untuk membantudan memudahkan mereka bepergian.
  4. Pabrik atau industri tertentu. Negara wajib mendirikan dua jenis industri sebagai kewajiban negara dalam mengatur kemaslahatan manusia. Pertama, pabrik-pabrik yang berhubungan dengan harta benda milik umum, seperti pabrik atau industri eksplorasi pertambangan, pemurnian, dan peleburannya. Pabrik-pabrik ini milik umum, dan negara yang mendirikannya sebagai wakil dari kaum muslimin. Kedua, industri berat dan industri militer. Jenis pabrik ini boleh dimiliki individu, karena bagian dari kepemilikan individu. Akan tetapi pabrik semacam ini memerlukan modal sangat besar. Sangat sulit dilakukan oleh seorang individu.

Ini adalah sarana-sarana yang harus disediakan negara untuk masyarakat. Karena ini menjadi tugas negara, perusahaan-perusahaan yang menangani asset itu tetap harus dikelola negara.Perusahaan yang didirikan dalam rangka memberikan pelayanan kepada rakyat, tidak boleh diprivatisasi. Meskipun demikian, negara tidak menutup peluang bagi swasta untuk turut menggarap beberapa bidang diatas, seperti perusahaan transportasi darat, sungai, laut.

Negara juga harus menyediakan sarana-sarana yang menjadi kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Dalam bidang layanan kesehatan dan pendidikan, negara wajib mewujudkan pemenuhannya terhadap seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim, kaya maupun miskin.

Demikian halnya dengan masalah pendidikan. Masalah ini juga menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar bisa dinikmati seluruh rakyatnya. Gaji guru misalnya harus ditanggung negara yang diambilkan dari kas bayt al-mal. Rasulullah saw telah menetapkan kebijaksanaan terhadap tawanan perang Badar, bahwa mereka bisa bebas setelah mengajar 10 orang penduduk Madinah baca tulis.

Beberapa bukti diatas dapat disimpulkan bahwa semua sarana yang manjadi tanggung jawab negara tidak boleh diprivatisasi. Bertolak dari kesimpulan tersebut, privatisasi dilatari motif untuk membebaskan peran negara dalam layanan public dan digantikan sepenuhnya dengan mekanisme pasar, sebagaimana yang di idealkan system ekonomi kapitalisme-neoliberalisme dan didesakkan lembaga-lembaga multirateral, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO, dalam perspektif system ekonomi Islam tidak dapat dibenarkan.

TINJAUAN TERHADAP PETERNAKAN KAMBING-DOMBA SKALA MENENGAH SISTEM TIGA STRATA

Apa yang terjadi dalam dunia peternakan Indonesia khususnya peternakan Kambing-Domba sudah tentu menjadi tanggungjawab segenap elemen pemerhati peternakan Indonesia, entah itu praktisi, mahasiswa, pengusaha dan pelaku peternakan itu sendiri. Ada kekhawatiran tentang masa depan peternakan Indonesia yang kian lama kian terpuruk, mengikuti terpuruknya sektor riil pertanian kita. Jika tidak ada kesiapan konsep dan praktek tentang peternakan kambing-domba dari jauh-jauh hari oleh institusi pemerintah maupu lembaga-lembaga non pemerintah yang peduli tentang nasib peternakan Indonesia maka kekhawatiran itu akan terbukti di kemudian hari.
Banyak sudah program pemerintah yang tidak sedikit menelan banyak dana teraktualisai pada masyarakat kelas bawah. Akan tetapi manfaat yang dirasakan sangat tidak mamuaskan bahkan tidak ada manfaatnya sama sekali, kalau ada hanya pada awal dikucurkannya program ,tetapi setelah itu hilang begitu saja. Hal ini menjadi masalah yang klasik yang tentu saja terulang-ulang hingga saat ini. Apa yang terjadi dengan program tersebut ? Konsepkah yang kurang matang ? Masyaraktkah yang kurang dapat menerima konsep tersebut ? atau jangan-jangan program tersebut hanya sekedar bagian dari agenda politik yang harus dilakukan oleh pemerintah ?
Kalau pada tataran konsep ada banyak praktisi kita yang tentu saja kualitasnya tidak diragukan lagi. Melalui tulisan ini coba kita tinjau konsep peningkatan efisiensi usaha ternak Kambing-Domba yang dipaparkan oleh H. Tantan R Wiradarya yang diutarakan beliau pada lokakarya Nasional Kambing Potong.
Sudah saatnya mensinergikan peternakan Kambing- Domba skala rumah tangga dengan peternakan Kambing-Domba yang memiliki skala usaha yang lebih rasional, karena peternakan Kambing-Domba pada skala usaha yang lebih rasional mampu mengadopsi teknologi peternakan mutakhir sehingga Kambing-Domba plasma nutfah Indonesia tersebut teramankan dan termanfaatkan bagi nusa dan bangsa kita dengan optimal. Kita akan mampu memiliki peternakan Domba skala besar karena kita memiliki potensi biologis, teknis dan ekonomis yang memadai.
Untuk langkah awal, peternakan Kambing-Domba tersebut terbentuk peternakan Kambing-Domba skala menengah.Predikat "skala menengah" ini digunakan berdasar kepada besar biaya investasi yang berkisar sekitar lima sampai dengan 10 milyar rupiah. Jumlah ini menurut ukuran kredit bank dikelompokkan kedalam skala usaha menengah.
Berdasar kepada amanat yang diembannya, peternakan Kambing-Domba skala menengah ini harus mampu :
1. Meningkatkan dan mengamankan mutu genetik Kambing-Domba melalui program pemuliabiakan yang benar
2. Memproduksi dan menjual Kambing-Domba sesuai skala pasar
3. Bersinergi dengan peternak Kambing-Domba Skala rumah tangga untuk menjamin kelangsungan dan kemanan pasar nasional serta membangun masyarakat peternak Domba yang sehat dan sejahtera.
Untuk meningkatkan mutu genetik, maka harus dilakukan seleksi untuk mengamankan ternak-ternak Kambing-Domba unggul dari populasi yang ada sekarang. Setelah itu, kelompok ternak unggul tersebut dimuliabiakan untuk memantapkan keunggulan mutu genetiknya. Dari proses ini diharapkan dihasilkan bibit unggul, terutama pejantan unggul.
Untuk memproduksi Kambing-Domba sesuai skala pasar tidak mungkin memakai kelompok Kambing-Domba yang telah dihasilkan. Hal ini dikarenakan populasi bibit Kambing-Domba unggul tersebut sedikit dan harga bibit jauh diatas harga pasar. Oleh karena itu diproduksi kambing-Domba "Komersial" yang merupakan Kambing-Domba yang memiliki nilai genetik menengah dengan harga sepadan dengan tingkat harga pasar. Dengan demikian, Kambing-Domba komersial ini tidak 100% murni bibit Kambing-Domba yang dihasilkan.
Setelah Domba komersial dihasilkan, maka selanjutnya produk primer dan/atau sekundernya perlu dikemas sedemikian rupa sesuai preferensi pasar atau bahkan untuk meningkatkan preferensinya baik dipasar nasional maupun pasar internasional.
Dalam memproduksi Kambing-Domba komersial sesuai kuantitas dan kualitas pasar, peternakan Domba skala menengah ini membutuhkan biaya, tenaga, dan lahan yang luas. Untuk efisiensi waktu, tenaga dan biaya, maka peternakan Kambing-Domba skala menengah ini harus bersinergi dengan peternakan skala rumah tangga, baik dalam penyediaan pakan maupun dalam produksi Kambing-Domba komersial.
Berdasarkan hal diatas, maka proses produksi peternkan Kambing -Domba skala menengah terpilah kedalam 3 pokok kegiatan produksi, yaitu :
1. Pembibitan (pemuliabiakan ternak Kambing-Domba untuk mengembalikan seraya meningkatkan mutu genetiknya). Unit usaha yang melaksanakan pokok kegiatan ini kita sebut sebagai strata 1.
2. Pembiakan (produksi Domba komersial untuk menyepadankan tingkat produksi dengan kuota pasar). Unit usaha yang melaksanakan pokok kegiatan ini kita sebut strata 2.
3. Komersial (pengemasan dan pemasaran produk primer dan sekunder ternak Kambing-Domba sesuai standar pasar). Unit usaha yang melakukan pokok kegiatan ini kita sebut strata 3.

Kalau kita tinjau tulisan diatas, maka kita akan mempunyai gambaran konsep yang menggabungkan antara produksi dan pemasaran, yang tentu saja tidak hanya memikirkan masalah pemasaran semata tetapi juga diimbangi dengan penyediaan stok produksi yang unggul untuk menyeimbangkan julah populasi dan kuota pasar.
Jika kita bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat, maka hal itu yang harus kita pikirkan pada langkah awal penyusunan konsep, sehingga mempunyai target dan tujuan untuk peternak kecil yang akhirnya tidak terus dibiarkan menjadi peternak dengan skala rumah tangga tetapi diajak untuk meningkat menjadi peternak skala menengah.
Sementara untuk mewujudkan peternakan skala menengah tidak bisa dikerjakan oleh individu-individu peternak yang memang hanya menjadikan peternakan hanya sebatas pekerjaan sampingan. Skala menengah haruslah dikerjakan oleh peternak yang tergabung dalam kelompok peternakan dengan menajemen memadai dan senantiasa diberikan pelatihan-pelatiahan guna meningkatkan keilmuwan tentang peternakan.
Pemberdayaan peternakan yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa Bandung melalui program "Masyarakat Ternak"nya pada tahap awal program dilakukan pembentukan kelompok-kelompok ternak, yang diharapkan peternak tidak merasa sendiri dalam usahanya tetapi merasa ringan dengan suatu ikatan menajemen dan aturan yang sama. Pelatihan-pelatihan yang dilakukan bukan untuk orang per orang tetapi pelatihan dilakukan secara berkelompok dengan materi-materi yang dapat meningkatkan kualitas keilmuwan peternakan dan materi-materi peningkatkan kualitas manajemen.
Dengan berkelompok peningkatan peternak gurem yang secara faktanya adalah peternak individu menjadi peternak skala menengah akan tercapai. Biaya, tenaga dan lahan yang luas, waktu dan pikiran akan menjadi ringan. Dengan Kelompok ringan sama dijinjing berat sama dipikul.



Hendrayana, SPt. Staff Pemberdayaan Dompet Dhuafa Bandung.