Minggu, 03 Februari 2008

Sebelum Domba-Kambing di Kartel oleh “Asing”

Oleh : Hendrayana, SPt

Dalam system ekonomi pertanian, perjalanan dari pra produksi sampai pasca produksi semua tidak lepas dari permainan pemodal besar (pengusaha) serta mafia perdagangan. Petani kecil hanya menjadi objek untuk menjalankan roda perekonomian mereka. Fakta pertanian sekarang, semua produksi pertanian tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga dalam negeri. Sehingga, semuanya kalo bisa dibeli kenapa harus diproduksi.

Peternakan sendiri sebagai bagian integral pertanian tidak lepas juga terkena dampak negatif dari diberlakukannya system ekonomi pertanian kapitalisme. Apalagi sekarang disokong dengan para penguasa yang notabene pengusaha, maka apapun jika masih bisa di beli lebih baik beli daripada diproduksi. Tidak perlu berpikir tentang bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas yang memang butuh dana yang besar, lebih baik dana itu dipakai modal. Oleh karena pandangan seperti itulah maka sampai kapanpun jika masih berhitung untung rugi jangka pendek, bukan berpikir sejahtera atau tidak rakyat maka pertanian/peternakan di negeri ini akan hancur. Kita hanya menjadi negeri pembeli dengan pemerintah selaku distributor serta agen-agen perdagangan

Dalam dunia usaha peternakan di sebagian jenis usahanya seperti usaha peternakan ayam dan usaha peternakan sapi baik perah dan potong sudah terkena dampak penerapan system ekonomi yang mengesahkan penguasaan asset kepemilikan umum oleh individu. Oligopoli salah satu turunan aturan persaingan usaha yang jelas-jelas menguntungkan pihak pemodal yang berserikat terhadap usaha yang sama (homogen).

Jika Monopoli yang berarti penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha sudah dilarang oleh pemerintah melalui UU Antimonopoli, maka Oligopoli sebagai pilihan untuk penguasaan produksi dan pemasaran atas barang dan jasa oleh satu kelompok pelaku usaha.

Secara umum pengertian oligopoli adalah di mana terdapat beberapa pelaku usaha yang mempunyai kekuatan pasar kurang lebih sebanding. Dan salah satu karakteristik pasar yang oligopolistik yang diperdagangkan adalah barang-barang yang homogen, seperti bensin, minyak mentah, bahan bangunan, pipa baja dan lain-lain, termasuk bermacam macam hasil ternak (susu, daging, DOC, kulit).
Di dalam pasar oligopoli khususnya pada barang-barang yang homogen, terjadi keterkaitan reaksi. Artinya, jika satu pelaku usaha menaikkan harganya yang lain juga otomatis ikut menaikkan harganya dan sebaliknya jika suatu pelaku usaha menurunkan harganya, dan yang lain ikut menurunkan harganya.
Di sinilah terjadi apa yang disebut dengan perilaku yang saling menyesuaikan di antara pelaku usaha. Hal ini terjadi, karena sifat barang-barang yang homogen mengakibatkan tidak terdapat persaingan kualitas. Barang yang homogen pada umumnya mempunyai kualitas yang hampir sama. Oleh karena itu pada pasar oligopoli sebenarnya tidak dilakukan melalui suatu perjanjian.
Jadi, bertitik tolak dari penjelasan singkat ini, maka oligopoli menurut UU Antimonopoli agak berbeda dengan apa yang dikenal di dalam hukum persaingan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa. Tetapi di pasar heterogen pun –paling tidak dari segi struktur murni– dapat timbul oligopoli, namun pada pasar seperti ini pada umumnya tidak terjalin kesepakatan antara pelaku usaha untuk saling menyesuaikan, di sini justru berpeluang terjadi persaingan harga dan kualitas.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin pada pasar oligopoli khususnya pada barang yang homogen terjadi suatu kartel? Karena pada barang yang homogen pada prinsipnya tidak terjadi melalui suatu perjanjian, melainkan melalui penyesuaian perilaku masing-masing pelaku usaha, seperti disebut sebelumnya.

Oligopoli Melalui Perjanjian.
UU Antimonopoli Indonesia mengatur oligopoli agak berbeda dengan di negara-negara lain. Dengan jelas ditetapkan di dalam pasal 4 ayat 1 UU Antimonopoli, bahwa oligopoli ditetapkan melalui suatu perjanjian, yaitu pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik moopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Dari ketentuan pasal 4 ayat 1 dapat disimpulkan, bahwa oligopoli terjadi melalui suatu perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran barang atau jasa tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain. Jadi, ketentuan ayat 1 pasal 4 tersebut boleh dikatakan adalah kartel, yaitu kartel produksi dan kartel pembagian wilayah pemasaran.
Dan di dalam ayat 2 pasal 4 ditetapkan, bahwa pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakuan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa tertentu, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Jadi, menurut UU Antimonopoli struktur pasar yang oligopolistik, jika dua atau lebih pelaku usaha melakukan perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu, dan jika menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar suatu barang atau jasa tertentu.
Ketentuan ayat 1 dan ayat 2 pasal 4 tersebut, jika diteliti secara seksama ada suatu kontradiksi, di mana di satu pihak ditetapkan, bahwa oligopoli dilakukan melalui suatu perjanjian (ayat 1), dan di lain pihak ditetapkan bahwa dua atau tiga pelaku usaha atau sekelompok patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu, jika pelaku usaha tersebut menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar (ayat 2).
Dilihat dari aspek sejarah pembuatannya, memang tidak jelas alasan pembuat undang-undang mengapa kedua kata diduga dan dianggap tersebut digunakan, seolah-olah masing-masing kata tersebut dapat digunakan secara tersendiri dalam kasus tersendiri dan mempunyai arti yang berbeda. Kalau pemikirannya demikian, maka akan mengakibatkan interpretasi yang berbeda-beda.
Jika, dilihat dari aspek arti kata ”diduga” dan ”dianggap”, diduga adalah sesuatu yang masih dapat dibantah, sedangkan dianggap adalah sesuatu yang hampir tidak dapat dibantah lagi. Namun demikian untuk menghindari interpretasi yang berbeda-beda, di dalam penerapannya kedua kata tersebut dapat digunakan arti yang sama, yaitu dapat dibantah, karena didahului dengan kata ”patut”, yaitu menjadi mempunyai sifat rule of reason.
Artinya, dugaan atau anggapan terhadap dua atau tiga pelaku usaha yang melakukan penguasaan pangsa pasar sebesar lebih dari 75 persen masih perlu pembuktian oleh KPPU, bahwa pelaku usaha tersebut menguasai pangsa pasar lebih dari 75 persen dan mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dan sebaliknya pelaku usaha juga dapat membuktikan (membantah) tuduhan KPPU, bahwa pelaku usaha tersebut tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 75 persen dan tidak melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Atau, kalau toh dua atau tiga pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 75 persen, pelaku usaha (oligopolis) tersebut tidak melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Jadi, ketentuan pasal 4 UU Antimonopoli memaksa KPPU membuktikan suatu perilaku yang saling menyesuaikan menjadi suatu tindakan kartel, yaitu harus menunjukkan bukti melalui perjanjian baik tertulis maupun lisan.

Kartel adalah gabungan (organisasi resmi) dari para produsen yang menjual output di pasar oligopoli. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan-perusahaan anggotanya, yaitu dengan jalan menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku untuk seluruh perusahaan dalam kartel. Kartel dibentuk pada umumnya untuk mengatasi ketidakpastian perilaku perusahaan-perusahaan pesaing dengan mengadakan Collusive agreement (persetujuan secara diam-diam).

Dengan penggabungan seperti ini produsen-produsen secara bersama-sama akan berperilaku seperti halnya monopolis. Secara garis besar ada dua jenis kartel, yaitu kartel dengan tujuan membagi pasar. Suasana ini adalah mirip dengan monopolis yang mempunyai beberapa pabrik (multiplant-monopoly). Dalam model ini masalah yang dihadapi kartel tidaklah hanya menentukan tingkat harga dan jumlah output optimum yang harus diproduksi oleh kartel agar keuntungannya maksimum namun juga penentu jatah output yang harus diproduksi oleh masing-masing produsen anggota dan juga pembagian keuntungan antar mereka. Pada prinsipnya output optimal juga pembagian keuntungan antar mereka.

Berbagai fakta praktek kartel telah masuk dalam peternakan, yaitu usaha peternakan ayam dan usaha peternakan sapi. Gabungan, Asosiasi atau Kelompok apalah namanya yang ada di negeri ini kebanyakan hanya kumpulan dari penguasa modal yang dengan mudah dapat menentukan kesediaan barang dan menentukan harga kapanpun dan dimanapun mereka suka. Maka tidak menjadi hal aneh lagi jikalau penimbunan bahkan pembunuhan saat produksi menjadi hal yang halal bagi mereka demi menaikkan harga produk. Dengan cara seperti itu penguasaan terhadap barang dan penguasaan pemasaran dapat diatur sedemikian rupa sehingga keuntungan berada ditangan mereka, bukan kepada usaha peternakan skala kecil yang bergantung kepada mereka. Sebelum menjalankan praktek kartel dengan sesama peruasahaan sejenis tentu saja masing-masing perusahaan sudah menguasai sektor hulu sampai hilir usaha mereka. Pabrik pakan mereka punya, produk setengah jadi apalagi, sedangkan untuk pemasaran mereka sudah tentu mempunyai pasar tetap, dengan adanya system kemitraan dan plasma yang mereka bangun dengan dalih untuk membantu peternak kecil mereka akan dengan mudah untuk mempermainkan harga.

Jauhkan kartel dari Peternakan Domba-Kambing Sekarang!

Indonesia memiliki populasi kambing sekitar 12,6 juta dan domba sekitar 7,5 juta ekor. Dunia internasional mengakui bahwa Indonesia memiliki jenis domba dan kambing Tropis unggul, yaitu domba Garut yang bobot badannya dapat mencapai 100 kg dan kambing Kacang yang memiliki reproduktifitas tinggi (dapat beranak tiga kali dalam dua tahun dengan peluang kembar dua atau tiga yang tinggi). Kedua jenis ternak sangat adaptif terhadap lingkungan Tropis yang panas dan lembab ini. Kenyataan lain menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tanah Tropis yang luas dan subur, memiliki tingkat biaya operasional peternakan domba yang sangat kompetitif, dan tingkat pasar domba nasional yang tinggi. Namun demikian, hingga hari ini, dinamika industri peternakan domba dan kambing di Indonesia masih dibebankan kepada para peternak skala rumah tangga dengan rataan skala usaha sekitar dua sampai dengan 31 ekor per peternak.

Tujuan mereka beternak pada umumnya adalah untuk mendapat penghasilan tambahan atau sebagai tabungan yang menjadi sumber “Emergency Cash” pada saat diperlukan. Juga dinamika pemasarannya, hingga hari ini masih didominasi oleh para belantik dengan tingkat skala dan area pemasaran yang terbatas. Karena tekanan kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan skala usaha yang sangat kecil, maka dalam pelaksanaan usahanya banyak unsur dan standar produksi yang diabaikan nilai dan kepentingannya. Di lapangan terlihat kecenderungan mendahulukan ternak unggul untuk dijual dan mempertahankan ternak kurang unggul sebagai bibit generasi ternak masa datang. Akibat dari kondisi ini, adalah makin terkurasnya populasi kambing dan domba unggul Indonesia. Khususnya domba Garut, populasinya saat ini diperkirakan hanya tinggal 60.000 ekor (sekitar 0,08% dari total populasi domba nasional).

Apabila sub sektor peternakan Domba-Kambing masih dijalankan dengan skala rumah tangga, padahal kebutuhan akan daging Domba-Kambing tiap tahun pasti akan meningkat dengan signifikan, maka yang terjadi tentu saja skala impor Domba-kambing akan terus meningkat. Tentu saja lama kelamaan hal ini tidak akan dibiarkan begitu saja, karena peluang untuk meraup keuntungan sangat besar. Lihat saja kebutuhan Domba-Kambing di Indonesia menjelang Idul Kurban, di Jawa Barat saja kebutuhan ruminansia kecil itu sekitar 219.000 an pada tahun 2006. Kebutuhan tersebut belum kita hitung secara nasional, pasti jumlahnya akan besar sekali. Akan tetapi kebutuhan Nasional tiap tahun tersebut tidak dapat dipenuhi oleh hasil keringat peternak dalam negeri.

Ironis sekali memang, kalau kita dapat berpikir dengan jernih tentang peluang pasar maka peluang tersebut tidak akan pernah ada habisnya. Selama masih ada hari Idul Kurban pastilah kebutuhan daging Domba-Kambing akan mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pertambahan umat Islam khususnya pastilah membutuhkan penambahan kuota kurban. Walaupun pasar itu terjadi hanya setiap setahun sekali, tapi pasar tersebut sudah pasti ada.

Di Indonesia peternakan ruminansia kecil (Domba-Kambing) masih “dikuasai” oleh peternak rakyat yang hanya mampu memproduksi dalam skala rumah tangga. Tentu saja hal ini masih menguntungkan bagi mereka, karena pakan Domba-Kambing tidak perlu beli sehingga keterikatan kepada pengusaha pakan dan kebutuhan lain untuk produksi nyaris tidak ada. Sehingga hal ini perlu dipertahankan, hanya saja perlu meningkatkan kualitas produksi dan kuantitas produksi dengan adanya menaikkan skala usaha dari rumah tangga menjadi skala menengah yang lebih rasional, sebelum penguasaaan Domba-Kambing jatuh pada orang “Asing”.

Oleh karena itu, kiranya sudah waktunya bagi kita untuk mempertimbangkan pembangunan suatu peternakan kambing-domba pada skala usaha yang lebih rasional yang akan mampu mengadopsi teknologi peternakan mutakhir agar plasma nutfah Indonesia tersebut teramankan dan termanfaatkan bagi nusa dan bangsa kita dengan optimal. Kita akan mampu memiliki peternakan domba skala besar karena kita memiliki potensi biologis, teknis dan ekonomis yang memadai. Tidak hanya pemerintah yang selalu berusaha melindungi dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk peternakan, tetapi lembaga –lembaga non profitpun sekarang mulai memperhatikan dan berusaha melindungi plasma nutfah Indonesia itu dari peran para kapital yang akan mengkartelnya.

Lembaga non profit seperti Dompet Dhuafa Bandung juga berperran ingin sekali berperan untuk melindungi Domba-Kambing Indonesia dari kartelisasi dengan membangun kekuatan lokal peternakan. Kelompok-kelompok peternakan berbasis sumberdaya lokal telah dibentuk di hampir setiap kabupaten di Jawa Barat guna membangun suatu jaringan peternakan Domba-Kambing. Jejaring tersebut nantinya diharapkan akan dapat memenuhi permintaan Domba-Kambing untuk kebutuhan kurban khususnya dan untuk kebutuhan daging harian masyarakat.

Peningkatan kualitas pun dilakukan melalui pembinaan dan pelatihan kepada peternak skala rumah tangga, sehingga diharapkan peternak skala rumah tangga tersebut kedepannya akan menjadi peternak skala menengah. Pakan dan obat-obatan tidak menggunakan buatan pabrik tetapi diusahakan dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada atau secara tradisional untuk menghilangkan ketergantungan terhadap produk-produk yang menjebak. Pembibitan yang mulai dilakukan adalah untuk mempersiapkan stok produksi. Kelangkaan akan Domba-Kambing setelah penyembelihan besar-besaran saat Idul Kurban Insa Allah bisa dihindari. Jika skala produksi individu-individu dalam kelompok sudah besar dan pemasaran telah dikuasai, maka mereka diharapkan dapat menurunkan harga Domba-kambing dipasaran bukan malah mengkartel dengan manaikkan harga. Karena mekanisme harga dapat dengan mudah dibentuk dalam pasar yang masih menggunakan sistem ekonomi seperti saat ini.

Penulis adalah : Staf ahli Pemberdayaan Dompet Dhuafa Bandung